KBR, Jakarta – Laurentina tak memungkiri, batinnya kadang dihinggapi rasa malas, ketika menerima informasi soal pemulangan jenazah korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
“Sebetulnya kita bisa memilih, ‘ah enak tidur, malam-malam’, kadang-kadang juga kalau siang, ‘panas-panas ngapain harus ke bandara, kadang-kadang hanya nunggu orang yang sudah meninggal’,” kata Laurentina.
Namun, perasaan itu sirna seketika ia teringat tentang amanat yang diembannya.
“Itu suatu panggilan dan memang kekuatan saya adalah doa. Jadi saya juga menjaga keseimbangan antara hidup dan doa, ora et labora. Kami sebagai seorang relijius, kami hanya punya hati, punya waktu atau istilahnya panggilan Tuhan, untuk melakukan pelayanan ini,” tutur perempuan yang diakrab disapa Suster Lauren ini.
Suster Lauren adalah biarawati Katolik yang sudah 13 tahun melayani di NTT, khususnya di isu perdagangan orang. Suster Kargo, begitulah ia dijuluki, karena selama tujuh tahun terakhir, fokus mengurusi pemulangan jenazah korban TPPO
“Yang kami layani (total) sudah lebih dari 500 orang yang meninggal, perempuan banyak. Tahun 2023, memulangkan 151 jenazah PMI asal NTT,” ujar Suster Lauren.
Jenazah pekerja migran Indonesia (PMI) asal NTT dipulangkan melalui Bandara El Tari Kupang.
“Mereka (jenazah) sudah di-packing, dimasukkan peti, sudah diformalin, jadi rapi. Meskipun pernah sih ada yang bocor, misalnya sampai Kupang sudah bau. Kami berusaha memberikan pelayanan yang terbaiklah untuk jenazah-jenazah tersebut,” kisahnya.
Mayoritas korban berasal dari keluarga miskin, tak jarang tinggalnya di daerah pelosok NTT. Mereka mengadu nasib sebagai pekerja migran nonprosedural di Malaysia, Singapura, hingga Hongkong.
“Biasanya mereka tidak punya identitas, kemudian saya minta keluarganya menghubungi kepala desa untuk membuat surat domisili, KTP, dan KK. Kemudian mereka mengirimkan foto-foto dokumen, saya teruskan ke teman atau jaringan di Malaysia untuk menguruskan ke KBRI atau untuk menguruskan dokumen supaya jenazah bisa pulang,” jelas Suster Lauren
Penyebab kematian para korban beragam, rata-rata karena sakit. Status sebagai pekerja nonprosedural kerap mempersulit pemulangan jenazah.
“Kadang-kadang kalau jenazah itu meninggalnya tidak wajar, atau meninggalnya di luar rumah sakit, misalnya kasus pembunuhan, atau disiksa majikan, itu agak rumit, karena urusan dengan kepolisian,” ungkap Suster Lauren.
Suster Lauren pernah menangani pemulangan jenazah hingga memakan waktu hingga 11 bulan. Itu adalah kasus PMI meninggal karena digigit buaya, sehingga sulit dikenali identitasnya.
“Hanya (tinggal) badannya saja. Di samping jenazah hanya KTP saja. Kemudian mereka minta tolong untuk menelusuri keluarganya. Waktu itu di daerah Kabupaten Timor Tengah Selatan, ada yang mengaku ini anak saya, karena nama dan alamat ketemu. Kemudian tes DNA, sampelnya dikirim Jakarta-Malaysia. Ini yang membuat lama,” Suster Lauren menjelaskan.
Biaya pemulangan jenazah terbilang tidak kecil. Untuk rute Malaysia ke Kupang saja bisa menghabiskan hampir Rp40 juta. Sulit berharap pada bantuan pemerintah karena status korban dianggap pekerja ilegal.
“Apalagi kalau dia sudah tidak punya majikan atau dia tinggal di kos, tidak ada saudaranya di negara penempatan. Kemudian komunitas yang terdekat di sana membantu iuran pemulangan jenazah, kadang juga dari keluarga. Tapi pernah juga kasus, keluarganya tidak mampu, juga mungkin karena yang meninggal ini tidak aktif di komunitasnya atau tidak ada keluarga sama sekali, itu kami biasanya open donasi pemulangan jenazah,” ucapnya.
Perempuan kelahiran Temanggung, Jawa Tengah ini pernah beberapa kali membuka donasi untuk mencukupi biaya pemulangan jenazah korban. Semua berjalan lancar, hingga pada 2023 lalu, saat ia mengurus pemulangan jenazah warga Pulau Solor. Ia dituding mencari keuntungan dari donasi itu.
“Kebetulan saya kan berteman Facebook sama Dubes Malaysia, Pak Hermono. Setelah itu saya baca di FB-nya dia, ‘sudah jadi jenazah kok dieksploitasi, kami akan urus’. Itu setelah viral,” tutur Suster Lauren.
Suster Lauren memilih diam karena tak ingin memicu gejolak di media sosial. Ia tetap menjemput dan mengantarkan jenazah ke keluarga.
“Dan uang yang sudah masuk tetap saya berikan kepada keluarga, karena ini hak keluarga. Jadi saya mengantar almarhumah ke kampung halamannya, sekalian memberikan dana itu kepada keluarga. Saya mengatakan bahwa saya tidak eksploitasi, itu benar-benar untuk biaya pemulangan jenazah dan tidak menerima satu persen. Bahkan kami kadang-kadang tombok (rugi) karena biayanya banyak dari Kuala Lumpur sampai ke Kupang,” kata dia.
Ia juga pedih ketika mengingat kasus jenazah yang ditolak maskapai penerbangan. Alasannya, korban meninggal karena TBC.
“Kalau sudah meninggal kan tidak menular lagi ya. Ketika itu, diproses lah naik pesawat, dari pagi sampai siang itu tidak ada masalah. Eh, giliran setengah 12, dari maskapai bilang ini tidak layak untuk terbang karena penyebab kematiannya TBC, penyakit menular. Kami sudah menjelaskan segala macam, tetap tidak boleh. Saya merasa, saya yang ditolak. Itu memang bukan saudara saya ya, tapi saya merasa itu saudara saya yang ditolak,” tutur Suster Lauren.
Jenazah akhirnya bisa dipulangkan dengan kapal
“Kapal jalan sekitar setengah dua, kami kan harus lari ke pelabuhan. Jarak dari bandara ke pelabuhan hampir satu jam, kami kejar-kejaran dengan waktu, apalagi nanti ngurus ke karantina dan sebagainya kan,” kisahnya.
Pemulangan jenazah kadang diwarnai pula oleh konflik antarkeluarga. Beberapa kali, Suster Lauren juga harus ikut menengahi.
“Kadang-kadang ada rebutan jenazah, misalnya, yang meninggal ini nikah belum resmi, tapi sudah punya anak. Pihak laki-laki, pokoknya ini harus dipulangkan, ke pihak laki-laki. Yang istrinya,’jangan! harus di pihak kami di perempuan’. Di bandara ramai antara kubu laki-laki dan kubu perempuan. Jadi kami waktu itu mengatakan ya sudah buat surat perjanjian” lanjutnya.
Dalam memberikan pelayanan, biarawati kelahiran 1970 ini tak memandang latar belakang agama maupun etnis.
”Misalnya jenazahnya muslim, biasanya saya cari teman yang muslim untuk kamu doa di penerimaan jenazah di bandara. Hanya perbedaannya di doa saja. Tim kargo Bandara Eltari Kupang, ada yang muslim, ada yang Kristen Protestan, Katolik. Jadinya kami berbagi tugas,” tutur Suster Lauren.
Di sisi lain, Suster Lauren juga aktif mengkampanyekan pemberantasan TPPO, misalnya lewat pelayanan di gereja
“Kami sering ada kerja sama pertemuan rutin, untuk membahas bagaimana mencegah perdagangan manusia. Kita juga mengimbau, ketika mereka pergi, ya migrasi aman, kan kita tidak bisa melarang untuk pergi, memperbaiki kehidupan yang lebih baik. Makanya kami kerja sama bagaimana migrasi aman, apa yang harus dilakukan, dsb,” kata dia.
Ia mengakui upaya pemberantasan TPPO butuh kolaborasi multipihak. Apalagi modus pelaku juga terus berkembang. Karenanya, Suster Lauren berharap edukasi anti-TPPO bisa digencarkan sejak usia sekolah, masuk dalam kurikulum pengajaran.
“Akhir-akhirnya anak sekolah menjadi makanan empuk bagi para calo. Jadi harapannya TPPO ini bisa masuk ke sekolah-sekolah supaya mereka tahu bahayanya. Jangan mudah percaya. Tidak hanya yang di kampung-kampung, orang mau cari pekerjaan. TPPO ini selalu modusnya berubah-ubah. Jadi kita juga harus kenceng untuk kampanye,” Suster Lauren menekankan.
Selain itu, sektor penegakan hukum juga harus diperkuat. Ia mendorong aparat menindak tegas pelaku dari hulu sampai hilir.
“Jangan hangat-hangat tahi ayam, tetap harus kenceng, tegas, sikat sindikat TPPO di manapun, siapapun itu. Karena kadang-kadang, misalnya oknum-oknum yang terlibat itu susah untuk menangkapnya. Ini bisnis perdagangan manusia, banyak menguntungkan, jadinya banyak yang terlibat di situ,” pungkas Suster Lauren.
Penulis: Nafisa Deana, Valda, Ninik Yuniati
Editor: Ninik Yuniati