Kenal Lebih Dekat dengan Juru Bahasa Isyarat

Kenal Lebih Dekat dengan Juru Bahasa Isyarat

KBR, Jakarta – Mata Putri Sri Hanitami menatap lekat isyarat-isyarat jari tangan Bagja Prawira, seorang teman Tuli. Putri kemudian menerjemahkannya secara lisan kepada lawan bicara Bagja.

Putri adalah juru bicara isyarat (JBI) di silang.id, start up digital yang fokus memperluas aksesibilitas komunitas tuli. Silang.id didirikan salah satunya oleh Bagja Prawira.

“Menjadi JBI itu dari tahun 2018, 2017 akhir sih sebenarnya, itupun juga kecemplung,” kata Putri.

Putri lahir dari keluarga Tuli, kedua orang tuanya Tuli. Sehari-hari, mereka berkomunikasi dengan bahasa isyarat, meski tidak formal.

”Di keluarga, ada sekitar lima orang Tuli, dari omku, tanteku, dengan variasi. Ada yang memang pakai alat bantu dengar, ada yang tidak pakai, orang tuaku termasuk yang tidak pakai,” ucap perempuan 27 tahun ini.

Putri belum pernah secara khusus belajar bahasa isyarat. 

“Kita cuma ada home sign, isyarat rumahan aja, yang orang-orang kita tahu doang,” lanjutnya.

This is a simple text

Perjalanan Putri menjadi JBI dimulai pada akhir 2017. Sang tante yang teman Tuli, memintanya menjadi penerjemah di sebuah acara. Meski awalnya ragu, karena merasa tak mampu, Putri akhirnya setuju.

“Ada acara dadakan, dia datang, dia ajak saya untuk jadi JBI. Itu full cuma pakai tangan yang nggak jelas gitu, dulu masih nggak tahu artinya apa, tapi ya udah. Sampai akhirnya diajak terus dan belajar autodidak,” ungkapnya.

Putri belajar dengan melihat para senior JBI bekerja.

“Dari lisan ke isyarat, isyarat ke lisan, gimana etikanya itu pun aku belajar sendiri, autodidak,” imbuh Putri.

Pandemi menjadi titik balik bagi teman Tuli. Mereka sempat kesulitan mengakses informasi soal Covid-19, karena acara-acara online tidak menyediakan JBI. Komunitas Tuli, termasuk Bagja Prawira, lantas membuat surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo.

“Dari situ, mulai aware nih pemerintah dan beberapa acara-acara harus ada juru bahasa isyarat di setiap beritanya, di setiap press conference-nya,” kata dia.

Ini juga merupakan titik balik bagi para JBI seperti Putri. Ia kian sibuk karena banyak tawaran masuk. Klien pun bisa datang dari mana saja.

“Contoh ada klien dari Surabaya, kita bisa menjurubahasakan dari Jakarta, tanpa kita secara fisik datang ke sana. Atau misalkan dari luar pulau Jawa, sedangkan memang teman-teman JBI di Jawa itu banyak. Di beberapa daerah juga ada, tapi sedikit. Nah, kekurangan SDM di situ tuh yang selama pandemi ini justru membantu,” jelas Putri.

Penghasilannya pun lumayan, meski tentatif, karena statusnya freelance. Mereka bisa mendapatkan sekitar Rp1 juta hingga Rp10 juta per bulan.

Putri pernah menjadi JBI sampai 4 kali dalam sehari dengan rekor terlama sampai 12 jam.

”Kita biasanya mainnya durasi. Aku pernah nge-JBI dari jam 1 siang sampai jam 1 malam. Bergantian, itu lagi musyawarah organisasi, pergantian jabatan. Jadi ada sidang-sidang yang lama banget, kapan sih ini cuma beda diksi, beda ini,” cerita Putri.

Tak dipungkiri, ia kadang didera kelelahan mental. Tangannya juga berisiko terkena gangguan saraf, jika terlalu intens menerjemahkan.

“Kadang overwhelmed, karena kita sebagai akses, jembatan komunikasi dan informasi. Misalkan di beberapa tema-tema khusus, entah tentang mental health, kekerasan atau apapun. Mungkin kita bisa aja jadi PTSD, takutnya kita ikut trauma ke-trigger,” ujar dia.

Di sisi lain, banyak cerita berkesan. Seperti saat ia mendapat klien teman Tuli dari Sulawesi. Putri sempat kerepotan karena varian bahasa isyarat yang digunakan berbeda. Beruntunglah ada jalan keluar.

“Kendalanya, udah nggak gitu menangkap isyaratnya, sinyalnya juga jelek, entah sinyalku, entah sinyalnya si tuli, dibantulah aku sama Tuli lain, yang isyaratnya lebih jelas. Jadinya ada dua kali transalasi, si Tuli Sulawesi berisyarat, diterjemahkan sama Tuli dari Yogya, aku menjurubahasakan lisannya melihat dari si Tuli yang Yogya,” Putri bercerita.

Putri juga berkesempatan mendapat beragam pengetahuan baru. Sebab, kliennya berasal dari bermacam latar belakang.

“Di luar negeri misalkan di bidang kesehatan, JBI khusus kesehatan. Hukum, JBI khusus hukum. Politik, JBI khusus politik. Nggak bisa campur, karena sudah ada penjurusannya. Kalau di Indonesia, satu JBI itu bisa semuanya. Nah, itu bikin nambah wawasan dan pengetahuan,” ungkap dia.

Tak sedikit juga momen yang membuat Putri terharu. Salah satunya ketika memfasilitasi para teman Tuli yang menjadi make up artis (MUA) di sebuah pentas teater.

“Aku nge-JBI para MUA-nya, Tuli semua, yang ngemake up-in para pemain teaternya. Itu merinding sih, karena pas disebutin, wah pada ramai banget, nggak nyangka kalau tuli bisa jadi MUA, dan hasilnya cakep-cakep banget kok. Itu gue mau nangis, karena di salah satu pelatihan mereka, aku ngikutin dari awal banget, sampai mereka bisa punya panggung ini,” ujar Putri antusias.

Momen-momen inspiratif seperti inilah yang memberi makna mendalam bagi Putri. JBI bukan semata pekerjaan yang mendatangkan uang, melainkan juga kebermanfaatan.

“Kita memberikan dan menjembatani akses informasi, yang paling happy saat mereka mengerti apa yang kita sampaikan. Dia ngertinya tuh nggak cuma sekadar ngerti, tapi mereka ada action-nya. Itu kayak something new yang sebelum-sebelumnya mereka mungkin nggak pernah ngelakuin, karena tidak adanya akses,” tutur Putri.

Penulis: Nafisa Deana

Editor: Ninik Yuniati

Related Posts
Leave a Reply

Your email address will not be published.Required fields are marked *